NOTÍSIA LITERÁRIA, (LIBERDADETL.com) — Di tengah langit pagi yang menggantung tenang di atas Istana Negara, Senin, 4 Agustus 2025, gema lagu kebangsaan Pátria-Pátria kembali bergulir—namun tidak semua bibir turut bersuara. Sebuah realitas yang mencerminkan tantangan kebangsaan di ruang-ruang administratif dan birokrasi negara.
Dalam peninjauan langsung terhadap pelaksanaan upacara bendera mingguan, Menteri Negara untuk Kesetaraan, Elvina Sousa Carvalho, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap minimnya partisipasi aktif dari aparatur negara dalam ritual kenegaraan yang bersifat simbolik namun sarat makna tersebut.
Dengan nada reflektif dan serius, Elvina Sousa menggarisbawahi bahwa banyak pejabat publik, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), masih belum menyanyikan lagu kebangsaan dengan sepenuh hati, bahkan beberapa memilih diam saat bendera dikibarkan.
Menurut laporan dari media MetroFM bahwa, Ia menilai fenomena ini bukan sekadar soal ketidaktahuan teknis, tetapi mencerminkan lemahnya internalisasi nilai-nilai nasionalisme dan rasa memiliki terhadap negara.
“Banyak pejabat tidak tahu cara menyanyikan lagu kebangsaan Pátria-Pátria dan berbaris dalam upacara publik karena banyak pejabat bernyanyi tanpa kemauan sendiri, beberapa tidak bernyanyi, dan hanya berdiri saat bendera nasional dikibarkan pada minggu pertama setiap bulan,” ujarnya tegas.
Upacara yang semestinya menjadi bentuk konkret dari loyalitas sipil dan disiplin nasional, justru memperlihatkan disonansi antara identitas kebangsaan dan praktik birokrasi. Kegiatan simbolik seperti menyanyikan lagu kebangsaan atau baris-berbaris bukanlah formalitas kosong, melainkan bentuk representasi psikososial terhadap negara dan sejarah perjuangannya.
“Saat upacara pengibaran bendera, saat kita menyanyikan Pátria-Pátria, saat kita menyanyikan baris berbaris dalam upacara publik, banyak PNS yang masih belum bernyanyi dengan antusias”.
“Saya yakin banyak yang belum mendapatkan penghargaan. Begitu pula dengan inspektur upacara pengibaran bendera, saat kita menyanyikan lagu kebangsaan, kita bernyanyi dengan sepenuh hati dan jiwa. Kita akan berkehendak dan memiliki semangat yang kuat,” ujar Elvina Sousa.
Kurangnya antusiasme dalam menyanyikan Pátria-Pátria dapat dibaca sebagai indikasi bahwa sebagian pejabat belum menginternalisasi makna patriotisme sebagai bagian dari etika pelayanan publik.
Fenomena ini menjadi semakin penting untuk diperhatikan, terutama menjelang dua momen penting nasional yang akan diperingati bulan ini—Hari FALINTIL dan Hari Konsultasi Rakyat pada 30 Agustus. Dua peringatan tersebut adalah fondasi historis berdirinya negara Timor-Leste, yang seharusnya tidak hanya dirayakan melalui seremoni tetapi juga dijaga melalui perilaku kolektif yang mencerminkan kesetiaan terhadap nilai-nilai kemerdekaan.
Namun, kehadiran fisik tidak serta-merta menunjukkan keterlibatan emosional dan ideologis terhadap nilai-nilai kebangsaan. Keprihatinan Menteri Elvina dapat dipandang sebagai panggilan moral, sekaligus tantangan kebijakan untuk memperkuat pendidikan kebangsaan di lingkungan aparatur sipil negara.
Pesan ini menggugah urgensi untuk merevitalisasi pendidikan patriotisme di kalangan PNS—bukan dalam bentuk doktrinasi, tetapi melalui integrasi nilai-nilai nasionalisme dalam pelatihan, tata kelola, dan budaya kerja birokrasi.
Lagu kebangsaan Timor Leste, Pátria-Pátria bukan hanya lagu; ia adalah saksi sejarah, doa kolektif, dan janji untuk tidak melupakan akar perjuangan bangsa. Maka dari itu, setiap bait yang dinyanyikan seharusnya menjadi resonansi dari semangat yang hidup dalam sanubari setiap pelayan negara.