banner liberdade
EDITÓRIAL

Kasus Safi’i Kemamang—Saat hukum diuji oleh solidaritas buta

476
×

Kasus Safi’i Kemamang—Saat hukum diuji oleh solidaritas buta

Share this article

EDITÓRIAL, (LIBERDADETL.com) — Timor-Leste bukan sekadar tanah yang direbut dari penjajahan, tetapi jiwa kolektif dari sebuah bangsa yang dibangun dengan darah, pengorbanan, dan tekad untuk menentukan nasib sendiri. Sejak proklamasi kemerdekaan, cita-cita kita selalu jelas: membangun negara yang berdaulat, adil, dan demokratis, di mana hukum adalah pijakan, bukan hiasan.

Namun, ancaman terhadap negara tidak selalu datang dari luar. Sering kali, bahaya datang diam-diam dari dalam, disamarkan dalam wajah persahabatan, dibungkus solidaritas, dan disebar melalui relasi yang tidak kasat mata. Inilah ujian sejati bagi bangsa: ketika nilai solidaritas membutakan mata terhadap pelanggaran hukum, ketika kedekatan pribadi mengalahkan kewajiban konstitusional, dan ketika semangat revolusioner dijadikan tameng untuk menghindari akuntabilitas.

Tulisan ini bukan serangan terhadap individu, melainkan panggilan sadar bagi seluruh elemen bangsa: untuk tidak kompromi terhadap setiap bentuk pelanggaran, sekecil apa pun, yang dapat merusak sendi hukum dan membahayakan arah bangsa. Sebab, bangsa yang kuat bukan bangsa yang paling terbuka, tetapi bangsa yang paling teguh menjaga batas dan nilai-nilainya.

Kazu Safi’i Kemamang—Bainhira lei hetan teste hosi solidariedade matan-delek

Timor-Leste sebagai sebuah negara demokrasi yang lahir dari sejarah panjang perjuangan melawan penjajahan, memiliki posisi sensitif terhadap segala bentuk infiltrasi ideologis dan upaya mempengaruhi struktur sosial-politik nasional dari luar. Dalam konteks tersebut, munculnya kasus Safi’i Kemamang—seorang mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia pada masa Orde Baru—yang diduga memberi pelatihan politik komunis-sosial kepada pemuda di Timor-Leste, telah memunculkan reaksi yang tajam, baik dari institusi negara maupun dari kalangan aktivis lokal.

Safi’i Kemamang telah tinggal di Timor-Leste selama lebih dari dua dekade, menikah dengan seorang perempuan asal Tutuala dan dikaruniai dua anak. Namun demikian, informasi yang mengemuka menyatakan bahwa ia masih menggunakan visa turis sebagai dasar kehadiran legalnya di negara ini, meskipun aktif terlibat dalam kegiatan ideologis yang menyentuh struktur berpikir generasi muda. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius tidak hanya dari aspek hukum, tetapi juga dari perspektif kedaulatan dan etika kewarganegaraan.

Hukum keimigrasian Timor-Leste secara tegas membatasi ruang gerak visa turis. Visa ini hanya berlaku untuk keperluan wisata, kunjungan sosial, atau kegiatan non-komersial yang bersifat pribadi dan sementara. Maka, ketika seseorang menggunakan visa turis untuk melakukan pelatihan politik—terutama yang berkaitan dengan ideologi revolusioner seperti sosialisme atau komunisme—itu jelas merupakan pelanggaran terhadap peraturan hukum imigrasi dan bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan izin tinggal.

Apabila terbukti, tindakan ini membuka ruang bagi aparat imigrasi untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa deportasi, pembatalan visa, atau pelarangan masuk kembali ke wilayah negara. Hal ini bukan hanya soal prosedur, melainkan menyangkut prinsip utama: negara berdaulat memiliki hak penuh untuk menentukan siapa yang boleh masuk dan aktivitas apa yang sah dilakukan di wilayahnya.

Nasionalista azul—espíritu devosaun ba nasaun no dignidade estadu

Timor-Leste tidak melarang diskursus ideologis—bahkan konstitusinya menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi. Namun, ketika ekspresi tersebut berasal dari aktor asing dan menyentuh ranah ideologis-politik yang dapat mempengaruhi arah berpikir pemuda, negara harus bersikap waspada. Apalagi jika aktivitas tersebut tidak dilakukan secara transparan, tidak didaftarkan ke institusi resmi, dan tidak melibatkan mitra lokal yang sah.

Sebagaimana diketahui, sejarah Timor-Leste tidak hanya diwarnai oleh perlawanan terhadap kekuasaan militer, tetapi juga oleh kecermatan dalam menjaga arah revolusi agar tetap berpijak pada nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan pluralisme. Oleh karena itu, meskipun narasi revolusi atau pendidikan ideologis sering kali dikemas dengan niat baik, penyebarannya oleh warga negara asing tanpa dasar legal yang sah tetaplah mengganggu norma-norma kenegaraan.

Dalam perkembangan kasus ini, sejumlah aktivis Timor menyatakan penolakan terhadap deportasi Safi’i Kemamang. Mereka menyebut bahwa Safi’i telah menjadi bagian dari komunitas lokal, bahkan dianggap sebagai tokoh yang “mendidik” pemuda Timor dengan semangat anti-kolonial dan revolusioner. Namun posisi ini, walau bernuansa solidaritas kemanusiaan, membuka pertanyaan serius dari sisi etika hukum dan tanggung jawab warga negara.

Aktivis yang membela keberadaan ilegal seorang warga asing yang melanggar hukum imigrasi dan menyebarkan ideologi tanpa izin, secara tidak langsung ikut mendukung pelanggaran hukum itu sendiri. Bahkan, bila terdapat bukti bahwa para aktivis tersebut memfasilitasi, melindungi, atau membiarkan aktivitas ilegal itu berlangsung selama bertahun-tahun, maka mereka juga dapat dikenai sanksi berdasarkan hukum nasional, terutama pada aspek menghalangi proses hukum atau turut serta dalam kegiatan ilegal oleh warga negara asing.

Di sisi lain, beberapa aktivis Timor justru mengungkap aktivitas tersembunyi Safi’i yang selama ini dianggap berjalan di bawah radar. Mereka menyuarakan pentingnya penegakan hukum imigrasi dan pembatasan aktivitas politik asing yang dapat mengganggu integritas nasional. Namun demikian, aktivis jenis ini juga mendapat tekanan sosial, dianggap sebagai “pengkhianat solidaritas” atau “penjual sesama pejuang.”

Padahal, tindakan mereka sesungguhnya merefleksikan patriotisme konstitusional, yaitu keberanian untuk membela hukum dan kedaulatan negara, bahkan jika itu berarti mengungkap orang-orang yang selama ini berlindung di balik simbol perlawanan dan revolusi.

Kasus Safi’i Kemamang bukan sekadar kasus imigrasi biasa. Ia mencerminkan dilema antara loyalitas personal dan tanggung jawab hukum, antara solidaritas politik dan kewajiban konstitusional. Negara demokratis seperti Timor-Leste harus tetap terbuka terhadap keragaman pemikiran, namun tidak boleh membiarkan hukum dikalahkan oleh relasi personal, sejarah perjuangan, atau narasi revolusioner yang tidak lagi kontekstual.

Dalam demokrasi, kebebasan tidak berarti tanpa batas, dan solidaritas tidak bisa menjadi alasan untuk melegalkan pelanggaran hukum. Baik warga negara asing maupun warga lokal memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, menjaga stabilitas nasional, dan memastikan bahwa demokrasi berkembang dalam kerangka etika dan keadilan.

Menjadi bangsa yang berdaulat bukan hanya berarti bebas dari kolonialisme, tapi juga mampu berdiri tegas terhadap ancaman yang menyusup lewat celah solidaritas dan kelembutan hukum. Kasus seperti Safi’i Kemamang menjadi cermin bahwa kita, sebagai sebuah negara muda, harus lebih dewasa dalam menyikapi setiap bentuk infiltrasi—terutama ketika dilakukan oleh mereka yang mengklaim membawa ‘pendidikan ideologis’ tetapi melangkah di luar koridor legalitas.

Solidaritas adalah nilai luhur. Tapi solidaritas yang buta terhadap hukum adalah bom waktu. Ia akan merusak kepercayaan publik, melemahkan integritas negara, dan menanamkan pesan berbahaya bahwa pelanggaran bisa dimaafkan jika dilakukan oleh mereka yang “dekat dengan perjuangan”.

Bangsa tidak dijaga hanya dengan senjata, tetapi dengan ketegasan hukum dan keberanian moral. Bila kita ingin Timor-Leste berdiri kuat di hadapan dunia, maka kita harus mulai dari dalam—dengan menolak pembiaran, membungkam rasa takut terhadap opini publik, dan dengan satu keberanian sederhana: berpihak kepada negara, kepada hukum, dan kepada masa depan generasi muda kita.

Karena pada akhirnya, mereka yang sungguh mencintai bangsa ini adalah mereka yang berani berkata “tidak” kepada kecurangan, bahkan jika datang dari orang yang kita kenal, hormati, atau pernah berjuang bersama.

Referensi (opsional untuk versi akademik):

  • Konstituisaun RDTL, Pasál 40, 41 dan 44.
  • Lei da Imigração de Timor-Leste (Lei n.º 11/2009).
  • UNHCR Guidelines on the Detention of Asylum Seekers and Illegal Migrants (for contextual comparison).
  • Studi tentang infiltrasi ideologi dan keamanan nasional dalam sistem demokrasi pasca-konflik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!