banner liberdade
Narrativa RezisténsiaNOTÍSIA IMPORTANTE / HEADLINE NEWS

Dili dalam api dan darah — September 1999 jadi catatan sejarah

56
×

Dili dalam api dan darah — September 1999 jadi catatan sejarah

Share this article

NARRATIVA REZISTENSIA, (LIBERDADETL.com) — Tanggal 4 September 1999 seharusnya menjadi hari kemenangan bagi rakyat Timor Timur. Komisi PBB untuk Referendum (UNAMET) mengumumkan hasil jajak pendapat yang dibacakan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Dari 451.792 warga yang terdaftar, lebih dari 78% memilih menolak otonomi khusus yang ditawarkan Indonesia, dan dengan demikian, memilih jalan menuju kemerdekaan. Dunia menyambut kabar itu dengan gegap gempita, tetapi di Dili, ibu kota kecil di tepi Teluk Ombai, suasana berubah drastis. Harapan yang seharusnya menjadi pesta rakyat seketika terganti menjadi teror.

Justino Ximenes, seorang pemuda kala itu, masih mengingat jelas getaran emosionalnya.

“Kami menangis bahagia ketika mendengar kata-kata Kofi Annan. Saya percaya, air mata sudah selesai, darah sudah berhenti. Tetapi saya salah. Hanya beberapa jam setelah itu, suara tembakan dan jeritan mulai terdengar,” kenangnya.

Hari yang seharusnya menjadi awal kebebasan berubah menjadi mimpi buruk. Milisi pro-Indonesia, yang selama berbulan-bulan telah dipersenjatai dan dilatih, turun ke jalan. Mereka membakar rumah, menebas nyawa, dan mencari siapa saja yang dianggap mendukung kemerdekaan.

Tanggal 5 September 1999 menandai babak baru tragedi Timor Timur. Malam sebelumnya, kota Dili sudah dipenuhi desas-desus. UNAMET yang bermarkas di Hotel Turismo, bergegas mengungsikan staf internasional. Wartawan asing melaporkan suasana yang mencekam: milisi berseragam loreng, membawa senjata tajam, senapan, dan terkadang didukung oleh aparat keamanan.

“Di jalan-jalan, saya melihat truk penuh milisi. Mereka berteriak, memanggil nama-nama keluarga yang dianggap pro-kemerdekaan,” tutur Justino. Rumah-rumah dibakar tanpa pandang bulu.

Api menjilat atap seng, menyebarkan asap hitam ke langit Dili. Suara gonggongan anjing bercampur dengan jeritan manusia.

Menurut laporan Amnesty International, kekerasan yang meletus setelah pengumuman referendum adalah bagian dari rencana sistematis. Milisi seperti Aitarak, Besi Merah Putih, dan Laksaur mendapat instruksi untuk melakukan “bumi hangus”. Tujuannya jelas: menghukum mereka yang memilih kemerdekaan dan mengirim pesan bahwa harga untuk merdeka adalah darah.

Justino kehilangan dua anggota keluarga dalam malam itu. “Rumah kami diserbu. Saya hanya sempat lari bersama adik. Ibu dan kakak perempuan saya tertinggal. Hingga hari ini, saya tidak pernah menemukan jasad mereka,” ucapnya dengan suara bergetar.

Pada 5 September pagi, Dili berubah menjadi kota hantu. Jalan-jalan dipenuhi puing dan arang. Asap hitam menggantung di udara. Wartawan The Sydney Morning Herald menulis kala itu: “Dili tampak seperti kota yang sedang dihukum.

Tidak ada kembang api merayakan kemerdekaan, hanya ledakan senjata dan api yang melahap rumah.”

Justino berjalan menyusuri Avenida Bispo Medeiros, jalan utama kota. Ia melihat orang-orang berlari ke arah pegunungan Dare. Beberapa dengan sepeda motor berusaha keluar kota menuju distrik Liquiçá atau Aileu. Namun banyak yang tertangkap di pos milisi.

“Saya mendengar suara orang berteriak memanggil ‘Ama! Ina! Oan!’ (ayah, ibu, anak). Tetapi suara itu tenggelam dalam derap sepatu milisi dan letusan senjata,” katanya.

UNAMET mencatat ribuan warga mengungsi ke kantor PBB. Di halaman, anak-anak menangis kehausan, perempuan berdesakan mencari tempat aman, sementara pria dewasa mencoba menghalau milisi dengan perisai seadanya.

Namun perlindungan terbatas. Kantor PBB hanya mampu menampung sebagian kecil dari puluhan ribu pengungsi.

Bagi Justino, 5 September adalah hari kehilangan. Ia berusaha mencari anggota keluarga yang tercerai-berai. Ia mendatangi Gereja Motael, tempat banyak orang berlindung, namun di sana juga tidak aman. “Saya melihat milisi masuk dan menyeret orang. Mereka mengancam akan membakar gereja. Orang-orang hanya bisa berdoa,” kenangnya.

Sebagian warga memilih mengungsi ke Atambua, Indonesia. Truk-truk TNI membawa ribuan orang menyeberang perbatasan. Namun, banyak dari mereka tidak pergi dengan sukarela. Laporan Human Rights Watch menyebutkan: sebagian besar warga dipaksa meninggalkan rumah, diangkut ke kamp-kamp pengungsian di Timor Barat.

“Pilihan kami hanya dua: mati di rumah, atau lari tanpa tahu ke mana. Saya memilih hutan. Di Dare, ratusan orang bersembunyi di balik pepohonan. Kami makan singkong mentah, minum dari sungai, dan selalu takut milisi akan datang mengejar,” kata Justino.

Gambar-gambar Dili yang terbakar menyebar cepat ke media internasional. Televisi menayangkan asap hitam mengepul di atas kota kecil yang baru saja memilih merdeka. Jurnalis asing melaporkan pembantaian di Liquiçá, Suai, dan Maliana. Puncaknya, pada 6 September, terjadi tragedi Gereja Suai di mana ratusan orang dibantai.

PBB dan komunitas internasional diguncang. Presiden AS Bill Clinton menyerukan intervensi. Australia, Portugal, dan negara-negara lain menekan Jakarta agar menghentikan kekerasan. Namun bagi Justino dan warga Dili, semua itu terasa terlambat. “Sementara dunia berdebat di New York dan Canberra, kami berlari di hutan, menyembunyikan anak-anak agar tidak dibunuh,” ujarnya.

Justino menggambarkan Dili pada 5–7 September 1999 sebagai kota yang hilang. Sekolah dibakar, pasar hancur, rumah sakit tak berfungsi. Mayat dibiarkan di jalan. Orang takut menguburkan karena bisa dituduh pro-kemerdekaan.

“Kota ini menjadi darah, menjadi abu. Tidak ada suara musik, hanya suara tangisan. Kami kehilangan segalanya. Hanya ada rasa takut,” katanya.

Menurut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR), sekitar 70% infrastruktur di Timor Timur hancur dalam aksi bumi hangus. Lebih dari 250.000 orang mengungsi paksa ke Timor Barat. Ribuan orang tewas, ribuan lainnya hilang.

Dua puluh enam tahun setelah hari itu, Justino masih menyimpan luka. Ia kini hidup di Dili yang berbeda: kota yang tumbuh kembali dengan gedung-gedung pemerintahan, universitas, dan jalan yang lebih ramai. Namun setiap kali melewati kawasan Colmera atau Motael, ia teringat pada abu hitam yang pernah menyelimuti kota.

“Kemerdekaan memang kami raih. Tetapi harga yang kami bayar terlalu mahal. Saya kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan masa muda saya. Itu tidak bisa kembali,” katanya lirih.

Hari itu, 5 September 1999, tidak sekadar menjadi catatan sejarah. Ia adalah peringatan bahwa kemerdekaan Timor-Leste lahir dari darah dan air mata, dari kota yang dibakar habis, dari jeritan yang tak sempat didengar dunia pada waktunya.

Narasi Justino Ximenes adalah satu dari ribuan kisah yang membentuk mosaik penderitaan rakyat Timor Timur pasca-referendum. Bagi sebagian orang, cerita itu hanya data dalam laporan Amnesty International atau UNTAET. Namun bagi Justino, itu adalah hidupnya yang dirobek dan ditinggalkan dalam abu.

Sejarah mencatat 5 September 1999 sebagai hari gelap, ketika pesta kemerdekaan berubah menjadi ladang kematian. Tetapi di balik abu, ada api kecil yang tidak padam: tekad untuk merdeka. Dan dari puing itu, berdirilah sebuah negara bernama Timor-Leste.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!