banner liberdade
Narrativa Rezisténsia

Arminda dan anak yang terlupa di perang—mencari putrinya, Bety Meharani

766
×

Arminda dan anak yang terlupa di perang—mencari putrinya, Bety Meharani

Share this article

JURNAL LITERÁRIA & KRÍTIKA, (LIBERDADE TL) — Redaksi LIBERDADE TL menyajikan laporan ini sebagai bagian dari upaya untuk menyuarakan kisah-kisah yang terkubur dalam sunyi sejarah. Di balik data dan dokumen resmi, ada luka yang belum pulih, ada ibu yang masih menunggu kabar anaknya, seperti Arminda Fernandes. Melalui penulisan ini, kami tidak hanya menghadirkan narasi, tetapi juga memanggil kembali kesadaran publik bahwa kebenaran dan rekonsiliasi membutuhkan keberanian untuk mendengar mereka yang telah lama dibungkam.

Sebuah kisah memilukan muncul dari sudut sejarah gelap pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Arminda Fernandes, mantan tahanan politik Kodim Lautem pada 1986 hingga 1989, mengungkapkan dalam sebuah wawancara bersama Dino Hanjam, dimana Dino Hanjam memposting di media sosial Facebook (Account pribadinya), rabu (09072025), bahwa ia telah terpisah dari anak perempuannya selama hampir empat dekade. Putrinya, yang bernama Bety Meharani, diduga dibawa ke Indonesia oleh tentara setelah ia terpaksa meninggalkannya saat masih bayi, demi keselamatan.

Dalam keterangannya, Arminda mengisahkan situasi genting di hutan ketika gerilyawan dilarang keras membawa anak-anak yang menangis ke tempat persembunyian, karena bisa membocorkan lokasi kepada musuh. Pada pukul 4 pagi, dalam sunyi dan gelap, Arminda membungkus bayinya dengan selimut dan menyembunyikannya di dekat pos militer TNI di Mehara. Ia meletakkan anak itu di bawah sebuah pohon, menyapanya penuh haru:

“Tuhan dan para leluhur bersamamu di sini, Nak.”

Tak lama setelah beranjak pergi, Arminda mendengar tangisan dan melihat nyala lampu dari rumah di dekat lokasi. Ia yakin putrinya ditemukan dalam keadaan selamat.

Namun, harapan tak serta-merta menjadi kenyataan. Beberapa tahun kemudian, setelah ia dibebaskan dari penjara di Vila Lautem pada 1989, Arminda kembali untuk mencari anaknya. Ia menemui warga setempat, termasuk seseorang yang disebut “Bebe”—perempuan yang dulu diminta menjaganya. Namun, kabar yang diterima justru mengaburkan harapan.

“Anak itu, Bety Meharani, sudah turun ke Jawa tiga tahun lalu,” ungkap seorang saksi yang mengaku mengetahui cerita tersebut.

Kini, menurut Arminda, jika Bety masih hidup, usianya sekitar 35 tahun. Ia masih menaruh harapan besar untuk bisa bertemu kembali dengan darah dagingnya itu.

Kisah Serupa: Anak-anak Timor yang Dibawa ke Indonesia

Kisah Arminda bukanlah satu-satunya. Menurut laporan investigatif BBC Indonesia dan lembaga Asia Justice and Rights (AJAR), sekitar 4.000 anak Timor-Leste dibawa secara paksa ke Indonesia selama masa pendudukan antara tahun 1975 hingga 1999. Banyak dari mereka dipisahkan dari orang tua mereka tanpa prosedur adopsi yang sah, seringkali dengan alasan pendidikan atau perlindungan, namun kenyataannya mereka dijadikan TBO (Tenaga Bantuan Operasional) atau diasuh oleh keluarga militer dan lembaga keagamaan.

Dalam beberapa kasus, anak-anak ini tumbuh besar tanpa mengetahui identitas asli atau bahkan kewarganegaraan mereka. Setelah kemerdekaan Timor-Leste pada tahun 2002, sejumlah kecil dari mereka berhasil kembali berkat inisiatif reunifikasi yang difasilitasi oleh AJAR, Komnas HAM, dan PDHJ Timor Leste.

Salah satu laporan BBC tahun 2017 mengungkapkan bahwa proses pencarian dan reuni emosional ini sering melibatkan trauma yang dalam, baik dari sisi keluarga kandung maupun anak yang kini telah dewasa. Banyak dari mereka merasa kehilangan jati diri dan mengalami kebingungan identitas setelah kembali ke tanah kelahiran mereka.

Masa Depan: menyambungkan kisah yang terputus

Kisah seperti Arminda Fernandes dan Bety Meharani menunjukkan bahwa luka sejarah masih belum sepenuhnya sembuh. Pencarian keluarga yang terpisah masih terus berlangsung. Lembaga-lembaga seperti AJAR selama ini melakukan mendesak agar pemerintah Indonesia dan Timor-Leste membentuk mekanisme resmi untuk pendataan dan reunifikasi korban pengambilan paksa anak-anak.

Anak-anak Timor Leste tidak hilang. Mereka ada, tetapi negara harus hadir untuk menyatukan kembali keluarga yang dipisahkan oleh sejarah kekerasan.

Sementara itu, Arminda masih menunggu. Dalam doanya, dalam setiap harinya, ia berharap dapat memeluk putrinya kembali. Di balik segala kekerasan dan kehilangan, kisah ini menjadi pengingat bahwa cinta seorang ibu tak akan pernah pudar oleh waktu maupun perang.

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!