EDITORIAL, (LIBERDADETL.com) — Narasi ini lahir dari realitas yang kami saksikan sendiri—bukan fiksi, bukan lelucon, melainkan wajah buram generasi muda Timor-Leste yang sedang bergumul dalam krisis moral yang semakin dalam. Observasi kami selama ini, baik di pusat kota maupun wilayah-wilayah terpencil, menunjukkan bahwa sebagian besar pemuda, khususnya perempuan berusia 15 hingga 30 tahun, sedang terseret arus pergaulan yang tidak lagi berakar pada nilai budaya dan etika luhur bangsa ini.
Kami tidak menulis berdasarkan asumsi. Ini adalah jeritan diam yang telah terlalu lama ditahan oleh masyarakat. Kami melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana tubuh dijadikan tontonan di media sosial, bagaimana anak muda dengan bangga menari tanpa busana pantas, masuk ke dunia malam, minum tanpa kendali, lalu hamil dan membuang bayi tanpa rasa tanggung jawab. Ketika orang tua bicara, mereka dilawan. Ketika nilai luhur diajarkan, mereka mengejek. Ini bukan kemajuan, ini kemerosotan.
Bangsa ini telah merdeka, tetapi apa arti kemerdekaan jika kehilangan rasa malu dan etika?
Dalam sunyi malam Dili, di antara kilatan lampu disko dan dentuman musik yang menelan suara nurani, satu generasi muda Timor-Leste sedang terperosok ke jurang kehilangan diri. Mereka bukan generasi tanpa potensi—mereka adalah harapan yang tersesat, terutama perempuan muda berusia 15 hingga 30 tahun yang, tanpa disadari atau mungkin dengan pembiaran, telah mengikis nilai-nilai luhur yang pernah dijunjung tinggi oleh leluhur bangsa ini.
Di bawah payung kebebasan pasca-kemerdekaan, lahirlah generasi yang kehilangan arah. Pergaulan bebas bukan lagi mitos. Ia hadir nyata dalam setiap jejak kaki menuju klub malam, dalam setiap botol alkohol yang diteguk tanpa batas, dalam setiap janji palsu yang dibungkus dalam malam gelap dan berakhir dengan kehamilan tak diinginkan—dan lebih tragis lagi, dalam pembiaran terhadap kelahiran yang tak diakui, bayi-bayi dibuang seperti sampah, tanpa suara, tanpa perlindungan, tanpa hak hidup.
Para orang tua kini hanya menjadi penonton dalam rumah mereka sendiri. Suara nasihat tak lagi didengar; jeritan kekhawatiran hanya bergaung di dinding kamar yang kosong. Sementara itu, layar-layar ponsel menjadi altar baru tempat pemujaan tubuh—tarian setengah telanjang, pose dengan celana pendek dan baju ketat, dipamerkan bukan untuk seni atau budaya, melainkan untuk sorak sorai digital yang kosong dari makna.
Fenomena ini bukan hanya soal pilihan individu. Ini adalah krisis identitas nasional. Karena ketika budaya diludahi oleh anak bangsa sendiri, kemerdekaan pun kehilangan jiwa. “Timor-Leste sudah merdeka, tetapi kehilangan moralitas,” kata Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB. Kalimatnya menusuk, bukan karena tajam, tetapi karena jujur. Ia mencerminkan luka kolektif sebuah bangsa yang merdeka secara politik, tetapi dijajah oleh dekadensi moral.
Di mana peran negara? Di mana kewibawaan pemerintah? Aparat keamanan bukan hanya bertugas menghadang kriminal di jalan raya. Mereka seharusnya menjaga martabat generasi. Pemeriksaan mendalam terhadap hotel-hotel, apartemen-apartemen, tempat hiburan malam yang diduga menjadi sarang pergaulan bebas harus dilakukan secara konsisten dan menyeluruh. Ini bukan bentuk penindasan terhadap kebebasan, melainkan upaya menyelamatkan generasi dari kehancuran diam-diam.
Ini bukan soal perempuan sebagai objek tuding, melainkan soal maraknya fenomena di kalangan muda perempuan yang menjadi sorotan sosial dan budaya. Tanggung jawab tidak hanya di pundak mereka, tetapi juga pada institusi pendidikan, media, keluarga, dan pemerintah. Kita tidak bisa lagi menutup mata atas kenyataan ini.
Bangsa ini tidak dibangun dengan tubuh yang dipamerkan, bukan dengan malam-malam pesta, dan bukan dengan bayi-bayi yang dibuang. Bangsa ini dibangun dengan etika, kerja keras, kesetiaan pada nilai, dan penghormatan terhadap kehidupan.
Jika moralitas terus menjadi barang langka, maka kemerdekaan ini hanyalah kebebasan untuk menghancurkan diri sendiri. Sudah saatnya suara profetik seperti Dom Carlos Belo kembali bergema, bukan sekadar sebagai nostalgia akan masa perjuangan, tetapi sebagai panggilan untuk menyelamatkan generasi dari kehancuran yang nyata dan mengerikan.
Realitas ini menuntut reaksi cepat, bukan wacana berkepanjangan. Pemerintah tidak bisa terus menjadi penonton. Otoritas keamanan tidak bisa hanya fokus pada lalu lintas dan kriminal biasa. Harus ada langkah nyata: razia tempat hiburan, pengawasan terhadap hotel dan apartemen, edukasi moral di sekolah dan media, serta pemulihan peran keluarga dalam membentuk karakter.
Kita sedang kehilangan generasi—dan jika kita tidak bertindak sekarang, maka yang hilang bukan hanya masa depan, tetapi harga diri bangsa itu sendiri.