NOTÍSIA LITERÁRIA, (LIBERDADETL.com) — Dalam sejarah sebuah bangsa, terdapat momen-momen krusial yang menjadi tonggak pembuktian kapasitas dan identitas nasional di hadapan komunitas internasional. Pertandingan CPLP 2025 (Jogos Desportivos da Comunidade dos Países de Língua Portuguesa) yang diselenggarakan di Dili, Timor-Leste, bukan hanya ajang kompetisi olahraga remaja antarnegara berbahasa Portugis. Ia merupakan simbol kepercayaan regional, pencapaian diplomasi, serta ruang aktualisasi kemampuan negara yang baru dua dekade lebih keluar dari cengkeraman kolonialisme dan konflik.
Sebagai tuan rumah untuk pertama kalinya, Timor-Leste dihadapkan pada realitas sumber daya terbatas, infrastruktur yang masih berkembang, dan ekspektasi internasional yang tinggi. Namun justru dalam kondisi tersebut, nilai moral dan strategis dari penyelenggaraan ini menemukan maknanya: sebuah negara kecil yang berani mengemban misi besar. Tulisan ini hadir untuk mengangkat kisah di balik layar persiapan, tantangan, dan pembelajaran dari pengalaman menjadi tuan rumah CPLP Games 2025—sebuah refleksi atas usaha kolektif membuktikan diri di tengah keterbatasan.
Menjadi tuan rumah sebuah pertandingan multilateral seperti Jogos Desportivos da CPLP (CPLP Games) bukan sekadar seremoni seremonial olahraga, tetapi sebuah panggung diplomasi publik dan kemampuan nasional.
Untuk pertama kalinya sejak berdirinya negara, Timor-Leste dipercaya menjadi penyelenggara CPLP Games ke-12 pada tahun 2025, sebuah ajang dua tahunan yang mempertemukan para atlet muda dari sembilan negara berbahasa Portugis. Ini bukanlah prestasi simbolik, melainkan sebuah ujian kapasitas negara: dari logistik, infrastruktur, tata kelola, hingga diplomasi olahraga.
Proses menjadi tuan rumah dimulai sejak pengajuan resmi oleh pemerintah Timor-Leste kepada Sekretariat CPLP, yang disetujui pada tahun 2023. Sejak saat itu, negara memulai proses transformasi infrastruktur olahraga dan logistik nasional.
Estádio Municipal Dili direnovasi sesuai standar FIFA; fasilitas voli pantai, catur, judo, atletik, dan tenis disiapkan dengan kolaborasi lintas kementerian. Proses pelatihan relawan, sistem akreditasi digital, dan koordinasi keamanan melibatkan lebih dari lima lembaga negara, termasuk kepolisian dan sektor diplomatik.
Namun, sebagai negara berkembang pasca-konflik, kesiapan Timor-Leste tidak datang tanpa tantangan. Masalah klasik seperti keterlambatan pengadaan, ketergantungan pada mitra luar negeri, serta kesiapan sumber daya manusia lokal menjadi realitas yang harus dihadapi.
Beberapa venue alternatif sempat tertunda pengerjaannya, dan logistik tim kontingen dari negara CPLP menghadapi hambatan pada tahap awal.
Sejarah global menunjukkan bahwa menjadi tuan rumah event besar bukanlah perkara ringan, bahkan bagi negara-negara maju. Brasil, saat menjadi tuan rumah Olimpiade 2016 dan Piala Dunia 2014, mengalami kritik keras karena pembengkakan anggaran, demonstrasi publik, dan infrastruktur yang tak selesai tepat waktu.
Afrika Selatan juga menghadapi tekanan sosial dan logistik saat menggelar Piala Dunia FIFA 2010, meski pada akhirnya sukses dari sisi diplomatik dan citra global.
Portugal sebagai salah satu pendiri CPLP pun menghadapi tantangan logistik dan pendanaan saat menjadi tuan rumah CPLP Games sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa dalam ajang semacam ini, kesempurnaan bukan ukuran utama, tetapi tekad, kapasitas adaptasi, dan semangat kolektif menjadi indikator utama keberhasilan.
Di tengah keterbatasan, Timor-Leste tidak memilih jalan pesimis. Sebaliknya, pemerintah mengangkat semangat nasionalisme konstruktif: menjadikan CPLP Games sebagai momentum memperkenalkan wajah baru Timor-Leste kepada dunia berbahasa Portugis dan masyarakat internasional.
Negara menggandeng mitra seperti Portugal, Brazil, dan beberapa organisasi internasional dalam hal pelatihan wasit, manajemen pertandingan, dan pembangunan infrastruktur berstandar internasional.
Lebih penting lagi, CPLP Games digunakan sebagai ruang belajar untuk generasi muda: bukan hanya dalam aspek olahraga, tetapi dalam nilai kerjasama, ketekunan, dan kebanggaan sebagai bangsa. Pemerintah juga menyiapkan rencana keberlanjutan pasca-event, agar infrastruktur yang telah dibangun dapat dimanfaatkan untuk pelatihan atlet nasional dan pendidikan olahraga.
Keputusan CPLP menunjuk Timor-Leste sebagai tuan rumah bukanlah hadiah, melainkan pengakuan. Meski perjalanan menuju kesempurnaan jauh dari mudah, keberanian untuk mengambil peran besar di tengah keterbatasan adalah manifestasi kedewasaan negara.
Bila negara maju pun tidak luput dari hambatan, maka kegigihan Timor-Leste untuk menyelenggarakan CPLP Games 2025 harus dilihat sebagai pencapaian moral dan politis yang layak diapresiasi.
Seperti kata pepatah Portugis, “Quem não arrisca, não petisca”—siapa yang tidak mengambil risiko, tidak akan merasakan hasilnya. Bagi Timor-Leste, CPLP Games bukan semata ajang olahraga, tetapi simbol identitas, solidaritas, dan keberanian untuk tampil di panggung internasional, dengan kepala tegak.
Pertandingan CPLP 2025 di Dili adalah lebih dari sekadar ajang medali dan kompetisi antarnegara. Ia adalah panggung pengakuan akan keberanian, kerja sama, dan ketekunan sebuah bangsa muda yang terus membangun dirinya di antara komunitas negara-negara yang lebih mapan. Meskipun tantangan teknis dan struktural tidak dapat dihindari, justru kehadiran Timor-Leste sebagai tuan rumah telah menegaskan bahwa kesuksesan bukan monopoli negara besar atau kuat, melainkan hasil dari visi yang konsisten, kemauan kolektif, dan semangat tidak menyerah.
Melalui momen ini, Timor-Leste telah menunjukkan kepada dunia bahwa nilai sejati dari menjadi tuan rumah bukanlah pada kemegahan fisik semata, melainkan pada kematangan politik, keberanian moral, dan keterbukaan untuk belajar. Kiranya semangat CPLP Games ini terus menyala dalam pembangunan bangsa, memperkuat solidaritas antarnegara Lusofon, dan menjadikan olahraga sebagai jembatan menuju masa depan yang inklusif dan berdaya saing.