LIVRU—KADI KAKUTAK, (LIBERDADETL.com) — Dalam sejarah perjuangan bersenjata dan revolusi sosialis abad ke-20, sedikit sekali ditemukan dokumen pribadi yang mampu menyentuh ranah etika keluarga sekaligus menyuarakan militansi ideologis. Surat Che Guevara kepada putrinya, Hildita, tertanggal 15 Februari 1966, bukan sekadar catatan emosional dari seorang ayah. Ia adalah manifesto mikro revolusioner yang menanamkan kesadaran kelas, tanggung jawab historis, dan formasi karakter sejak dini dalam ruang keluarga.
Che menulis dari suatu lokasi yang dirahasiakan—pada masa ia tengah mempersiapkan operasi gerilya di Bolivia, setelah meninggalkan jabatan formalnya di Kuba. Dalam surat itu, kita menemukan jejak utuh dari prinsip praxis Paulo Freire: menyatunya refleksi dan aksi dalam kerangka pembebasan manusia.
Surat ini membuka dengan sapaan personal dan penuh kasih sayang, namun langsung diikuti dengan pernyataan ideologis yang tegas:
“Aku masih berada di tempat yang jauh… menjalankan apa yang dapat aku perjuangkan, melawan musuh-musuh kita.”
Kalimat ini merefleksikan satu dimensi penting dalam teori revolusi Marxis-Leninisme: pengorbanan individu untuk kolektivitas kelas. Che tidak menyembunyikan ketidakhadirannya sebagai bentuk pengkhianatan keluarga, melainkan sebagai konsekuensi moral dari pilihan revolusioner yang telah ia ambil.
Menurut teori Etika Revolusioner dari Frantz Fanon, seorang revolusioner adalah “manusia total” yang harus mengorbankan kenyamanan pribadi demi pembebasan umat manusia. Surat ini adalah contoh nyata dari konsepsi itu. Che menempatkan anaknya tidak hanya sebagai objek kasih sayang, tetapi sebagai subjek historis yang akan, kelak, mengambil bagian dalam tugas sejarah.
Salah satu elemen terkuat dalam surat ini adalah penekanan pada pendidikan. Che menulis:
“Di usiamu kini, tugasmu adalah belajar sebanyak-banyaknya… jadilah revolusioner sejati!”
Dalam paradigma pendidikan kritis ala Freire, pendidikan bukanlah proses menjejalkan pengetahuan, tetapi sebuah alat pembebasan. Che memahami ini. Ia tidak sekadar menyuruh anaknya menjadi ‘pandai’, melainkan menghubungkan belajar dengan kesadaran ideologis dan moral revolusioner.
Surat ini juga menekankan konsep prafiguratif, yakni membentuk nilai-nilai dunia yang diimpikan melalui sikap sehari-hari: cinta pada revolusi, solidaritas, kejujuran, serta kesetiaan kepada prinsip-prinsip kebenaran. Ini menunjukkan bahwa, bagi Che, revolusi bukan hanya peristiwa politik, melainkan proses pembentukan jiwa.
Meskipun berjarak fisik, Che mengekspresikan kedekatan emosional melalui pesan empati:
“…peluk mesra untuk ibumu dan Gina. aku memberimu peluk erat seerat-eratnya hingga akhir perpisahan kita ini.”
Che bukanlah figur otoriter yang membekukan anaknya dalam ideologi. Ia memadukan nilai revolusi dengan kelembutan, perhatian terhadap adik-adiknya, dan pembentukan relasi sosial yang sehat dengan tetangga. Ini mencerminkan humanisme revolusioner, di mana revolusi bukan sekadar penggulingan rezim, tetapi transformasi batin manusia.
Che memahami bahwa revolusi tidak cukup ditanamkan lewat senjata atau pidato besar, tetapi melalui nilai-nilai sehari-hari dalam keluarga. Ia membentuk Hildita sebagai agen perubahan, bukan karena darahnya, tetapi karena nilai yang harus ia hidupi.
Surat Che Guevara kepada Hildita adalah warisan moral dan politis yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa bahkan dalam keterpisahan geografis dan bahaya revolusi, peran seorang ayah revolusioner tetap hidup dan mendidik. Dalam paradigma Marxian, keluarga sering dianggap sebagai alat reproduksi ideologi borjuis. Namun, Che membalikkan ini. Ia menjadikan keluarga sebagai basis pembentukan kesadaran revolusioner.
Surat ini relevan hari ini, di tengah generasi yang terasing dari perjuangan dan makna sejarah. Ia mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar pencapaian nilai, tetapi proses pembentukan karakter dan tanggung jawab terhadap sejarah umat manusia.