banner liberdade
JustisaNOTÍSIA IMPORTANTE / HEADLINE NEWS

Kisah korban pelecehan seksual di UNTL

438
×

Kisah korban pelecehan seksual di UNTL

Share this article

JUSTISA, (LIBERDADETL.com) — Kisah berikut diterbitkan oleh Tim LIBERDADETL sebagai bagian dari liputan dokumenter mengenai pelecehan seksual di ruang akademik di Timor-Leste, khususnya di lingkungan universitas negeri. Tujuan utama publikasi ini bukan untuk menimbulkan sensasi, melainkan untuk mendorong kesadaran publik, akuntabilitas institusional, dan perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender.

Atas pertimbangan etika jurnalisme dan perlindungan hak asasi korban, Tim LIBERDADETL tidak mempublikasikan nama korban maupun identitas pribadi lainnya. Semua detail yang disajikan telah melalui proses verifikasi independen dan penyesuaian naratif untuk menjaga keselamatan dan martabat pihak yang terlibat.

Kisah ini merupakan suara dari ruang yang lama dibungkam, sebuah testimoni yang menyingkap bagaimana kekuasaan akademik dapat berubah menjadi alat penindasan terhadap perempuan muda yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan melalui pendidikan.

Dengan mempublikasikan laporan ini, Tim LIBERDADETL berharap agar lembaga pendidikan tinggi di Timor-Leste menegakkan prinsip keadilan, transparansi, dan kesetaraan gender, serta membangun mekanisme yang tegas untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Suara seorang perempuan muda pecah dalam diam panjang yang ia simpan sejak tahun 2014. Ia adalah salah satu korban pelecehan seksual di lingkungan Universidade Nacional Timor Lorosa’e (UNTL), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Dalam wawancara dokumenter ini di tim investigasi LIBERDADETL, ia membuka kembali luka yang selama bertahun-tahun ia sembunyikan, bukan karena ingin dikenal, tetapi demi mencegah hal yang sama terjadi pada perempuan lain.

Korban menceritakan bahwa pada tahun 2014, ia sering mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari seorang dosen senior.

Dosen tersebut, menurut pengakuannya, menjanjikan nilai akademik yang baik dan bimbingan tugas akhir, asalkan ia bersedia memenuhi keinginan pribadi sang dosen untuk tidur bersama.

“Dia bilang, kalau saya mau tidur dengannya, nilai saya akan bagus dan saya akan dibimbing dengan baik. Kalau tidak, katanya saya akan susah dalam proses belajar mengajar,” tutur korban dengan suara bergetar.

Korban menambahkan, pada suatu kesempatan, dosen itu memegang payudaranya dengan wajah penuh nafsu sambil mengatakan bahwa dirinya terlalu menggoda.

Ia kemudian memaksa korban untuk datang ke rumahnya di kawasan Becora, dengan alasan untuk “diskusi akademik pribadi”.

Tak berhenti di situ, pada tengah malam dosen yang sama mengirimkan foto alat kelaminnya melalui aplikasi facebook. Korban ketakutan, langsung menghapus pesan tersebut, dan sejak saat itu berusaha menjauh dari perkuliahan sang dosen.

“Saya langsung hapus foto itu, karena saya takut. Saya tidak tahu harus lapor ke siapa. Saya hanya bisa diam,” ucapnya lirih.

Kasus seperti ini menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan di ruang akademik dapat berubah menjadi alat penindasan terhadap perempuan.

Dalam perspektif sosiologis, pelecehan seksual di universitas sering terjadi karena adanya relasi hierarkis antara dosen dan mahasiswa, di mana otoritas akademik dipelintir menjadi senjata kontrol moral dan psikologis.

Menurut teori Gender and Power (Connell, 1987), pelecehan seksual di ruang pendidikan bukan sekadar tindakan individu, melainkan refleksi dari sistem yang maskulin dan impunitas institusional. Di Timor-Leste, isu ini masih tabu, sehingga banyak korban memilih diam daripada melapor.

Korban menegaskan bahwa dirinya bukan satu-satunya yang menjadi korban dari dosen tersebut. Ia mengatakan bahwa banyak perempuan lain yang memiliki bentuk tubuh menarik juga mendapat perlakuan yang sama, namun memilih diam karena takut pada ancaman nilai dan reputasi akademik.

“Dia selalu lihat perempuan yang badannya bagus, lalu mulai ajak bicara pribadi. Banyak teman saya juga digoda. Saya minta semua perempuan di kampus jangan kasih kesempatan lagi pada dia,” ujarnya tegas.

Korban berharap pihak universitas tidak menutup mata dan segera mengambil keputusan tegas terhadap dosen pelaku, termasuk mencabut segala jabatan akademik dan karier politiknya di luar kampus, karena perilaku seperti itu mencederai nilai pendidikan dan moral bangsa.

Secara akademik, universitas memiliki kewajiban untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Prinsip ini ditegaskan dalam UNESCO Guidelines for Gender Equality in Higher Education (2015), yang menekankan bahwa lembaga pendidikan harus memiliki mekanisme pelaporan, penyelidikan independen, dan sanksi tegas terhadap pelaku pelecehan seksual.

Namun hingga kini, banyak mahasiswa UNTL menganggap bahwa mekanisme tersebut masih lemah dan sering kali berpihak pada dosen karena posisi otoritatif mereka dalam sistem birokrasi universitas.

Sebagai reaksi atas kasus tersebut, sejumlah mahasiswa UNTL dari berbagai fakultas melakukan aksi solidaritas di halaman kampus Dili bulan ini, menuntut universitas membentuk komisi etik independen. Mereka dalam orasinya dengan suara keras:

“Kampus bukan tempat berburu tubuh perempuan!”
“Hentikan budaya diam dan lindungi korban!”

Gerakan ini menjadi salah satu tonggak awal kesadaran kolektif mahasiswa Timor-Leste terhadap isu kekerasan seksual di ruang akademik.

Kasus pelecehan seksual di lingkungan UNTL membuka kembali diskusi publik tentang etika akademik, kekuasaan patriarki, dan perlindungan perempuan di ruang pendidikan tinggi.

Dalam konteks historis, perjuangan perempuan untuk keadilan di Timor-Leste tidak hanya terjadi di masa perang, tetapi juga di ruang kelas — di mana martabat mereka sering diuji oleh sistem yang seharusnya mendidik.

“Saya hanya ingin kampus bersih dari dosen seperti itu. Kalau tidak ada keadilan untuk kami, generasi perempuan berikutnya akan tetap jadi korban,” kata korban menutup kesaksiannya.

Kisah ini menandai salah satu babak penting dalam perjuangan perempuan Timor-Leste melawan kekuasaan yang menyalahgunakan posisi akademik untuk kepentingan pribadi. Di balik setiap kisah diam, terdapat trauma yang tidak pernah diakui, dan di balik setiap keberanian bersuara, terdapat harapan agar dunia pendidikan menjadi ruang yang benar-benar mendidik — bukan menindas.

Tim LIBERDADETL berkomitmen untuk terus melanjutkan liputan investigatif ini, menggali lebih dalam tentang praktik pelecehan seksual, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya mekanisme perlindungan di kampus-kampus Timor-Leste.

Cerita ini belum berakhir. Dalam episode berikutnya, Tim LIBERDADETL akan mengungkap kesaksian lain dari mahasiswa, aktivis, dan pihak internal universitas yang mulai berani berbicara tentang budaya diam dan politik perlindungan terhadap pelaku di ruang akademik.

“Kebenaran mungkin tertunda, tetapi tidak dapat disembunyikan selamanya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!