EDITORIAL, (LIBERDADETL.com) — Kasus pelecehan seksual yang mengguncang Universitas Nasional Timor Lorosa’e (UNTL) menyingkap sisi gelap dunia akademik yang selama ini tersembunyi di balik wibawa gelar dan status intelektual. Seorang dosen berinisial MB, diduga melakukan pelecehan terhadap mahasiswa perempuan secara berulang, menggunakan posisi akademiknya sebagai alat tekanan. Para korban bungkam bertahun-tahun karena takut tidak dibimbing, gagal ujian, atau kehilangan dukungan administratif yang menentukan masa depan mereka di kampus.
Namun, keheningan itu kini pecah. Mahasiswa Fakultas Ilmu Politik UNTL, dengan keberanian moral yang jarang terlihat, turun ke lapangan menuntut agar MB diseret ke ranah hukum dan diberhentikan secara permanen. Mereka menegaskan bahwa tindakan seperti itu melanggar hak asasi manusia, dan juga mencederai adat Timor, nilai Katolik, dan etika akademik yang menjadi fondasi pendidikan di negeri ini. Dalam orasi mereka, sang dosen dijuluki “predator akademik” dan “teroris seksual”, simbol kemarahan atas kejahatan yang melukai martabat perempuan Timor-Leste.
Predator seksual di ruang akademik berarti dosen atau tenaga pendidik yang menggunakan kekuasaannya untuk memburu, memperdaya, atau melecehkan mahasiswa secara seksual, baik dengan ancaman nilai, janji bimbingan, maupun tekanan akademik.
Teroris seksual di ruang akademik berarti pelaku yang menebar ketakutan dan rasa tidak aman di lingkungan kampus melalui tindakan pelecehan atau kekerasan seksual, sehingga mahasiswa merasa takut, terintimidasi, dan kehilangan kebebasan belajar.
Fenomena ini bukan hanya masalah lokal. Di berbagai negara, universitas telah menghadapi kasus serupa dan menanggapi dengan tindakan tegas. Di Korea Selatan, Universitas Nasional Seoul memecat seorang profesor yang terbukti melecehkan mahasiswinya setelah penyelidikan internal yang transparan; keputusan tersebut diambil langsung oleh rektor demi menjaga integritas kampus. Di Amerika Serikat, Universitas Harvard dan University of California telah menetapkan kebijakan “zero tolerance” terhadap pelecehan seksual—setiap dosen yang terbukti melakukan tindakan itu dipecat tanpa kompromi. DI Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga sempat menjadi sorotan publik karena kasus serupa, dan pihak rektorat akhirnya mengeluarkan dosen pelaku dari seluruh aktivitas akademik setelah tekanan publik dan evaluasi etik.
Langkah-langkah tersebut menjadi teladan moral bahwa kampus tidak boleh menjadi tempat perlindungan bagi pelaku kekerasan seksual. Rektor sebagai pemegang otoritas tertinggi universitas memiliki tanggung jawab bukan hanya administratif, tetapi juga etis — untuk memastikan bahwa ruang akademik bebas dari ketakutan, intimidasi, dan eksploitasi.
Kini, mahasiswa UNTL berharap agar Rektor Universitas Nasional Timor Lorosa’e meneladani sikap berani seperti para pemimpin universitas di negara lain. Keputusan tegas untuk memecat dosen MB bukan hanya soal disiplin akademik, tetapi juga soal pemulihan martabat bangsa, penghormatan terhadap perempuan, dan pendidikan yang beradab.
Peristiwa ini adalah peringatan keras bahwa kekuasaan tanpa moral hanya melahirkan kekerasan tersembunyi. Jika UNTL berani mengambil langkah seperti universitas-universitas dunia yang menjunjung integritas, maka sejarah akan mencatat bahwa dari Dili, suara mahasiswa berhasil menggugah perubahan—bukan hanya untuk kampus, tetapi untuk seluruh sistem pendidikan nasional Timor-Leste.

 
 
							










