SEGURANSA, LIBERDADETL.com — Konflik perbatasan bukan sekadar soal garis imajiner yang memisahkan dua negara, melainkan juga menyangkut harga diri, kedaulatan, dan stabilitas hubungan bilateral.
Dalam kasus terbaru di garis batas RAEOA–TTU, fakta yang terungkap melalui dokumen resmi menunjukkan adanya keterlibatan kelompok pengungsi tahun 1999 dari Oe-Cusse yang masih bermukim di wilayah Indonesia.
Mereka dituding menjadi aktor provokasi utama dalam insiden kekerasan terhadap aparat Pemerintah Timor-Leste, sehingga menimbulkan pertanyaan serius: benarkah ada upaya sistematis untuk merusak hubungan baik antara Timor-Leste dan Indonesia?
Media LIBERDADETL memandang bahwa isu ini tidak bisa dipandang remeh. Diamnya aparat keamanan Indonesia di lapangan memperkuat kecurigaan publik tentang adanya kelalaian atau bahkan kemungkinan unsur kesengajaan.
Jika tidak ditangani dengan serius, konflik perbatasan semacam ini dapat menjadi bara dalam sekam yang berpotensi meledak sewaktu-waktu, mengancam persahabatan dua bangsa yang selama ini dibangun dengan pengorbanan besar.
Media Online LIBERDADETL berhasil mengakses sebuah dokumen resmi dari aparat keamanan Timor-Leste yang menjelaskan secara detail insiden perbatasan antara warga Inbate (Indonesia) dengan aparat Pemerintah Timor-Leste pada Senin, 25 Agustus 2025, sekitar pukul 11.45 siang waktu setempat.
Berdasarkan dokumen tersebut, aparat Pemerintah Timor-Leste dengan perwakilannya berada di garis perbatasan negara pada titik 11, yang dikenal sebagai Border Monument, untuk mendirikan tanda batas resmi milik Negara Timor-Leste. Namun, saat proses konstruksi berlangsung, sejumlah warga dari Desa Inbate, TTU, Nusa Tenggara Timur (Indonesia) datang ke lokasi dengan membawa parang dan peralatan tajam, dengan maksud untuk menghambat pekerjaan tersebut.
Dalam catatan investigasi, aksi provokatif itu tidak sekadar berupa intimidasi, melainkan berlanjut ke serangan fisik. Seorang aparat Timor-Leste ditusuk dengan senjata tajam oleh warga Inbate, sementara yang lain dikejar dengan maksud untuk diusir. Laporan resmi menyebutkan:
“Seandainya salah satu perwakilan Timor-Leste tidak berhasil melarikan diri, kemungkinan besar ia bisa menjadi korban pembunuhan oleh warga yang marah.” (Dokumen Aparat Keamanan RDTL, 25/08/2025).
Konflik ini dipicu oleh perbedaan pemahaman terkait batas negara. Menurut dokumen yang ada, titik insiden berada di titik 11 (Border Monument) yang sudah ditetapkan sebagai garis batas negara. Namun, warga Inbate justru mengklaim wilayah itu masih bagian Indonesia dengan merujuk pada titik 36, yang sejatinya adalah titik batas provinsi.
Dalam dokumen yang diakses LIBERDADETL, dijelaskan secara tegas:
“Kesalahpahaman terjadi karena Pemerintah Indonesia belum melakukan sosialisasi secara komprehensif kepada masyarakat perbatasan mengenai garis perbatasan resmi antarnegara.”
Salah satu poin kritis dalam laporan tersebut menyoroti ketiadaan aparat keamanan Indonesia (TNI–POLRI) di lokasi kejadian. Padahal, menurut sumber keamanan Timor-Leste, pihak TNI–POLRI mengetahui adanya ketegangan di lapangan.
“Ketiadaan aparat keamanan Indonesia dalam merespons insiden ini bisa ditafsirkan sebagai kelalaian, bahkan berpotensi dianggap sebagai unsur kesengajaan yang dapat merusak hubungan bilateral kedua negara.” (Dokumen Aparat Keamanan RDTL, 25/08/2025).
Media LIBERDADETL menilai, Pemerintah Indonesia perlu segera melakukan investigasi internal terhadap aparat TNI–POLRI di wilayah perbatasan TTU terkait motif di balik ketidakaktifan mereka.
Hal menarik lainnya dalam dokumen adalah klaim bahwa provokasi di lapangan bukan sepenuhnya dilakukan oleh warga Indonesia, melainkan oleh kelompok pengungsi tahun 1999 dari Oe-Cusse yang masih bermukim di wilayah TTU.
“Orang asli Indonesia tidak terlalu memusingkan persoalan garis batas. Provokasi lebih sering datang dari kelompok pengungsi 1999 yang secara historis memiliki kepentingan untuk merusak hubungan baik antara Timor-Leste dan Indonesia.”
Analisis Akademik
Menurut Newman (2006) dalam kajiannya tentang Borders and Border Politics, konflik perbatasan seringkali berakar pada “perbedaan persepsi masyarakat lokal terhadap garis batas yang ditetapkan secara hukum internasional”.
Dalam kasus RAEOA–TTU, perbedaan antara titik 11 (batas negara) dan titik 36 (batas provinsi) menunjukkan adanya gap antara hukum internasional (hasil delimitasi–demarkasi) dengan pemahaman masyarakat. Hal ini memperkuat tesis bahwa konflik perbatasan lebih banyak dipicu oleh aspek sosiologis daripada aspek hukum.
Dari perspektif komunikasi politik internasional (Deutsch, 1957), kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mensosialisasikan hasil penetapan batas kepada masyarakat perbatasan dapat dikategorikan sebagai defisit komunikasi negara.
Minimnya komunikasi ini membuka ruang bagi kelompok tertentu, termasuk pengungsi 1999, untuk mengeksploitasi ketidaktahuan warga dan memicu provokasi.
Buzan (1991) menekankan bahwa keamanan tidak hanya soal militer, tetapi juga melibatkan human security. Dalam kasus ini, kegagalan aparat keamanan Indonesia (TNI–Polri) untuk hadir di lapangan dapat dibaca sebagai bentuk insecurity yang dialami kedua masyarakat perbatasan.
Absennya aparat memperbesar potensi konflik horizontal yang dapat berujung pada korban jiwa, bukan hanya masalah kedaulatan.
Jika ditarik ke ranah hubungan internasional, insiden ini dapat berimplikasi pada ketegangan bilateral. Menurut teori Two-Level Game dari Putnam (1988), pemerintah Indonesia harus berhati-hati karena persoalan lokal (level domestik) dapat berdampak pada negosiasi di level internasional dengan Timor-Leste.
Kelalaian aparat di lapangan bisa dipersepsikan sebagai sikap politis, meski pada kenyataannya mungkin sekadar kelemahan koordinasi.
Media LIBERDADETL, melalui dokumen yang diakses pada Senin sore (25/08/2025) waktu Timor-Leste, menegaskan bahwa insiden ini menjadi catatan penting bagi kedua negara.
Perlu adanya sosialisasi yang lebih jelas kepada masyarakat perbatasan, investigasi independen terhadap aparat keamanan (TNI-POLRI), serta koordinasi diplomatik yang lebih erat antara Timor-Leste dan Indonesia.
Seperti ditegaskan dalam dokumen yang kami akses:
“Hubungan bilateral hanya bisa dijaga jika aparat kedua negara mampu menjamin keamanan, kejelasan informasi, dan perlindungan bagi masyarakat perbatasan.”