NARRATIVA REZISTÉNSIA, (LIBERDADETL.com) — Di perayaan lima puluh tahun FALINTIL, Sekretaris Jenderal FRETILIN, Mari Alkatiri, mengangkat pertanyaan mendalam, Dunia yang seperti apa? Dunia kita yang kaya, sangat kaya dan miskin, terlalu miskin, dengan segelintir orang istimewa berada di Pusat sedangkan massa rakyat tanpa nama hidup dalam kemiskinan ekstrem di sekitar mereka? Atau dunia abstrak orang-orang tanpa identitas akibat pengingkaran, tanpa sejarah karena direnggut dari mereka, tanpa kedamaian, tanpa keadilan? Dunia orang-orang yang didiskriminasi, dibungkam, hidup dalam kebutaan kolektif, ketulian yang tak tersembuhkan, kebisuan yang endemik? Dunia tanpa kesehatan, tanpa pendidikan, kelaparan merajalela, tanpa makanan, tanpa air atau sanitasi? Dunia yang menjadi korban janji-janji yang dsemburkan setiap siklus pemilihan umum, janji-janji yang diulang setiap lima tahun tetapi tidak diwujudkan.
“Namun, kita merayakan 50 tahun FALINTIL. Kita berupaya menyusun kembali ingatan-ingatan yang telah dirawat dan dicuci dengan baik dalam mesin-mesin modern, menciptakan narasi yang berulang kali diceritakan untuk memberi lebih banyak substansi pada manipulasi di hadapan Kegelapan kolektif yang melanda seluruh masyarakat kita”.
Sesungguhnya, ingatan bukanlah Sejarah, ingatan adalah rekaman fakta-fakta sepanjang perjalanan sejarah, perjalanan kehidupan, bahkan suatu ziarah dengan misi dan visi masa depan yang tak masuk akal.
“Kita Merayakan Lima Puluh tahun FALINTIL. Sebagai sebuah organisasi yang dilahirkan dari suatu kehamilan selama berabad-abad, hasil dari hubungan antara yang buruk dan yang baik, tanpa cinta, tetapi dengan rasa sakit yang mendalam. Ia terlahir sebagai alat pemisah dengan masa lalu”.
Namun fakta adalah fakta. Pemisahan dengan masa lalu itu tak kalah menyakitkannya. Pemisahan itu juga datang dengan lebih banyak rasa sakit, rasa sakit dari jenis yang berbeda, rasa sakit akibat perang yang tak masuk akal, perang saudara yang dimulai pada 11 Agustus 1975. (Ini fakta, kita tak bisa mengabaikannya. Bagi Lelaki dan Perempuan hebat, masa lalu diterima, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Masa lalu bukan dilupakan.
Mari Alkatiri menjelaskan, segala upaya telah dilakukan untuk menghindari perjalanan tragis ini. Segala upaya telah dilakukan, tetapi tak ada yang berhasil.
Ia menambahkan, satu-satunya cara yang didapatkan pada waktu itu untuk mengatasi perang adalah dengan perang itu sendiri. Dengan demikian telah tumbuh makhluk baru yang lahir dari kelahiran baru. Kelahiran yang sangat menyakitkan, tanpa akhir yang terlihat. “Kelahiran yang sulit, tetapi tak terelakkan”.
Maka, pada 15 Agustus, oleh Komite Sentral FRETILIN di Aisirimou, Aileu, diproklamasikanlah pemberontakan bersenjata, kerakyatan, dan tersebar luas, Sudah diketahui bahwa perang akan berlangsung lama, karena adanya kepentingan-kepentingan eksternal yang terlibat.
“Sudah diyakini bahwa, dalam cakrawala yang terisolasi berlapis-lapis, di Timor-Leste kami hidup dalam damai. Kami semua adalah putra-putri dari Tanah yang sama, anak-anak dari rakyat yang dilahirkan dari perpaduan berbagai-bagai arus migrasi selama ribuan dan ratusan tahun, sebuah bangsa hibrida yang tangguh. Dan tampaknya kita hidup dalam kedamaian”.
Namun kedamaian itu terbebani penyakit endemik dan terjerumus ke dalam kegelapan suatu keadaan baru, yang menghasilkan situasi konflik yang berasal dari luar dan dari kepentingan-kepentingan asing.
“Sejujurnya, Hari ini kita tidak memiliki kedamaian. Kita berada dalam situasi yang terburuk sejak Pemulihan Republik Demokratik Timor-Leste”, ujar Mari Alkatiri.
Itulah sebabnya semboyan “meluaskan perdamaian ke dunia” tidaklah tepat. Semoga di antara kita semua ada kemauan dan kesungguhan untuk mengatasi konflik jenis baru yang sedang kita alami ini.
“Kepada para martir dan pahlawan kita, dengan segala hormat aku tundukkan kepalaku—satu menit hening! Kepada yang Hidup, Tak satu menit pun, Saya membungkam Suara-saya”, tutup Mari Alkatiri.